87863/03

Add to Google Reader or Homepage

I heart FeedBurner

review http://pesonaborubatak.blogspot.com/ on alexa.com

Blog Archive

Pesona BORU Batak 30.733-0106. Powered by Blogger.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters
Custom Search

Eva Nurida Siregar Setia Cristian Gonzalez El Loco Luar Dalam


Eva Nurida Siregar adalah sosok penting dalam kehidupan dan karir Cristian Gonzalez di Indonesia. Ia selalu setia mendampingi El Loco, mulai dari urusan lapangan hijau sampai di hamparan sajadah.




Pasangan ini bertemu pertama kali di Cile di tahun 1994, ketika Eva studi di negara Latin tersebut. Hubungan mereka berlanjut ke pelaminan setahun kemudian dan Gonzales memeluk Islam.



Kesempatan Eva kembali ke tanah air datang ketika datang tawaran pada Gonzales untuk bermain di Indonesia di tahun 2003. Mereka menerima tawaran tersebut dan pria 34 tahun itu pun memilih PSM Makassar sebagai klub pertamanya di negeri asal sang istri.

Selama berkiprah di Liga Indonesia, Gonzales terbukti sebagai predator hebat di kotak penalti lawan. Lima kali berturut-turut ia menjadi top skorer kompetisi, di tiga klub yang pernah ia bela, yakni PSM, Persik Kediri dan saat ini Persib Bandung.

Kesuksesan dan kecintaan Gonzales pada Indonesia mencapai "puncaknya" ketika ia resmi diterima sebagai Warga Negara Indonesia pada 1 November lalu, dan terpilih masuk tim nasional untuk mengikuti Piala AFF yang saat ini berlangsung.

Di luar lapangan hijau, Eva adalah sosok yang tak henti-hentinya memberi dukungan pada sang suami. Diungkapkan Eva, Gonzalez tak pernah melupakan pesannya untuk selalu melafalkan surat Al Fatihah setiap kali hendak bertanding.

"Saya selalu mengingatkan pada dia untuk tidak lupa membaca Al Fatihah sejak dulu. Saya pun yang mengajarkan cara salat dan lain-lain. Ia sekarang sudah juga baca melafalkan salam, Insya Allah dan Alhamdulillah. Yang penting Gonzales tak selalu lupa untuk berdoa," tutur Eva kepada wartawan di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (15/12/2010) sore WIB.

"Saya bangga dengan suami saya sebagai seorang pesepakbola, bagaimana dedikasi dia kepada sepakbola. Saya dan anak-anak selalu berdoa untuk kesuksesan Cristian," sambung wanita yang bersama sang suami sudah dikaruniai empat anak itu.

Hal lain yang diungkapkan Eva adalah sosok sehati Gonzales di lapangan adalah Ronald Fagundez. Mereka pernah memperkuat Persik dan Fagundez saat ini membela Persisam Putra Samarinda.

"Sampai sekarang kebiasaannya sebelum bertanding adalah bermain PS (Playstation). Dulu ketika di Persik, biasanya dia bermain dengan Ronald, yang dianggapnya sebagai istri kedua. Mungkin sekarang mainnnya dia agak-agak gimana gitu, karena dia kehilangan Ronald Fagundez," tutur Eva.

Terkait keikutsertaan Gonzales di skuad Indonesia pada Piala AFF kali ini, Eva hanya berharap suami dan rekan-rekannya dapat menjadi juara di turnamen ini. Meski waktu berkumpul dengan keluarga berkurang, ia mengaku tak masalah dengan hal itu.

"Memang saya akui agak sulit bertemu dengan Cristian saat ini. Saya biasanya cuma punya waktu satu menit untuk ke kamarnya dan memberi roti gandum kesukaanya. Habis itu saya biasanya kembali ke rumah di (daerah) Casablanca. Anak saya yang paling kecil, Nandito, sempat sakit dan muntah-muntah kemarin.

"Yang pasti saya berdoa untuk kesuksesan Gonzales. Kalau juara nanti kami mau lakukan apa? Nantilah, itu masih rahasia," tuntas Eva.(detiksport.com)

Pesona BORU Batak





16:21 | 0 komentar | Read More

DR Jopinus Ramli Saragih SH MM, Anak Terminal Menjadi Perwira Militer


DR Jopinus Ramli Saragih SH MM atau lebih dikenal dengan panggilan DR JR Saragih berhasil mengubah jalan hidupnya. Berkat semangat juang tinggi, kerja keras, DR JR yang di masa kecilnya sempat hidup menggelandang, kini ikut bertarung dalam Pilkada Simalungun, untuk mewujudkan janjinya membenahi Simalungun, kampung halamannya.


Dilahirkan pada 10 November 1968, DR JR Saragih sebagai anak kelima, buah cinta pasangan R Saragih dengan N br Sembiring Meliala. Berbeda dengan anak-anak lainnya, DR JR Saragih, tergolong tidak sempat merasakan nikmatnya kasih sayang dari seorang ayah. R Saragih ayahnya, yang berprofesi oditur militer, menghembuskan nafas terakhirnya, saat JR belum genap berusia setahun.

Sepeninggal ayahnya tahun 1969, ibunya memutuskan untuk pindah dari Huta Hapoltakan Sondiraya, ke Kutambaru, Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo. Tindakan itu terpaksa diambil N br Sembiring Meliala, semata-mata karena desakan perekonomian keluarga yang morat-marit. JR kecil harus hidup terpisah dengan saudara-saudaranya. Ia tetap tinggal di Huta Hapoltakan bersama ompung (neneknya), sedangkan saudara-saudaranya, bersama sang ibu di Desa Kutambaru.

Sejak usia satu tahun, secara otomatis, JR diasuh dan dibesarkan ompungnya. Di daerah ini pula, JR mengecap pendidikan hingga kelas 4 SD, sembari membantu pekerjaan sebagai pemetik buah kopi, di lahan pertanian mereka, yang kini telah berubah menjadi komplek SKPD Pematangraya. Selain itu, JR juga bertanggung jawab memikul air bersih dari sungai untuk keperluan rumah. “Jujur saja, meski tidak mengenal bapak saya, saya merasa bahagia memiliki ompung menyayangi dan mencitai saya,” kata DR JR, dalam perbincangan wartawan Metro Siantar (grup Sumut Pos).

Kebahagiaan JR semasa kecilnya tidak berlangsung lama. Saat duduk di kelas 4 SD, ompung-nya meninggal dunia, akibat menderita sesuatu penyakit. JR kemudian dibawa ibunya ke Kutambaru untuk pendidikannya. Namun lagi-lagi, kesulitan ekonomi memaksa pendidikan JR harus tertunda, saat ia duduk dikelas 6 SD.

Ketika itu ibunya telah menikah kembali dengan Rasen Ginting. Dari pernikahan itu pula, JR mendapat tiga orang adik. Karena putus sekolah, JR nekat meninggalkan Desa Kutambaru, dan merantau ke Pematangsiantar seorang diri. Di kota Siantar Man ini, ia jadi tukang semir di terminal. Selama 6 bulan tukang semir, JR ‘naik pangkat’ menjadi pembantu kondektur bus untuk menyapu dan membersihkan sebelum berangkat mencari penumpang. Ia terbiasa makan sesekali sehari dan tidur di mobil di terminal. “Pakaian pun hanya satu,” ujarnya mengenang masa lalunya.
Genap dua tahun hidup di terminal, pada suatu malam, JR Saragih bertemu seorang supir bus. Pria itu menyarankan JR kembali ke sekolah, karena kehidupan terminal tidak mempunyai prospek yang baik. Nasehat dari supir bus itu pun dituruti JR. Ia kembali ke Kutambaru, dan menamatkan SD-nya dalam program persamaan, dan melanjutkannya ke SMP Anjangsana hingga tamat. Di sana, JR menggembala kuda dan beternak ayam. Ia juga menerima reparasi televisi dan sepeda motor, keahlian yang didapatnya dari terminal.

Setelah menamatkan SMP, JR kesulitan biaya melanjut ke SMA. Akhirnya, R berangkat ke Jakarta seorang diri. Di ibu kota, ia mendaftar ke SMA Swasta Iklas Prasasti Kemayoran dan bekerja menggali pasir. Dari menggali pasir, ia membiayai sekolahnya.

Beberapa lama menambang pasir, JR mendapat tawaran bekerja paruh waktu di Pusat Primer Koperasi Mabes TNI AD. Tawaran ini, ternyata menjadi titik balik kehidupan JR. Selama bekerja di situ, banyak petinggi TNI AD, simpatik atas kegigihan JR bersekolah.

JR pun diikutsertakan sebagai salah satu peserta test masuk Akmil. Kerja kerasnya berbuah manis, Ia lulus dan menjadi taruna di Akademi Militer. Usai dari Akmil, JR kemudian menjalani karirnya sebagai prajurit TNI AD, pada korps Polisi Militer (POM). Di dunia militer, JR telah menduduki sejumlah jabatan, mulai dari Dansub Denpom, Dandenpom, bahkan menjadi salah seorang personel Pasukan Pengaman Presiden.

Nama lengkap :
DR.Jopinus Ramli SARAGIH, S.H,M.H.
Tempat/ tanggal lahir: medan, 10-11-'68

Pekerjaan:
Bupati Simalungun 2010-2015
Pres. Komisaris RS.EFARINA ETAHAM GRUP..

Istri: dr.ERUNITA BR.TARIGAN GIRSANG, SPKK..
Tempat/tanggal lahir: medan, 19-06-73.
Pekerjaan: dokter sp.kulit dan kelamin.

Anak: Efarina br. Saragih
Tempat/tanggal lahirl: medan, 16-7-03
Pekerjaan: pelajar

Alamat rumah: jln.raya pondok indah no.21, jakarta selatan
Jl. Sutomo Hapoltakan Sondi Raya Simalungun
(http://www.hariansumutpos.com/2010/06/54555/anak-terminal-menjadi-perwira-militer.html)

Pesona BORU Batak

17:40 | 0 komentar | Read More

Raja Si Singamangaraja XII (1849-1907) Menolak Dinobatkan Menjadi Sultan

Dia seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat.

Perjuangannya untuk memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional.

Semua orang yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh.

Dengan dasar itulah, sehingga ketika pertempuran melawan penjajah Belanda di Balige tahun 1883, Si Singamangaraja XII berupaya mendekati serdadu Belanda yang antara lain terdiri dari saudara-saudara sebangsa dari Jawa yang jelas juga bermata hitam. Ia mencoba memberitahukan persaudaraan di antara mereka dibandingkan dengan orang Belanda, yang ketika itu diidentikkan dengan sekelompok etnis bermata putih yang suka melakukan penindasan.

Raja Si Singamangaraja XII yang lahir pada tahun 1849 di Bakkara, Tapanuli, sebuah daerah di tepian Danau Toba, ini diangkat menjadi raja pada tahun 1867 menggantikan ayahnya Raja Si Singamangaraja XI yang meninggal dunia akibat penyakit kolera. Sebagaimana leluhurnya, sejak Si Singamangaraja II, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun.

Sebagaimana dengan Si Singamangaraja I sampai XI, beliau juga merupakan seorang pemimpin yang sangat menentang perbudakan yang memang masih lazim masa itu. Jika beliau pergi ke satu desa (huta), beliau selalu meminta agar penduduk desa tersebut memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang, orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.

Pada masa pemerintahannya, kegiatan zending pengembangan agama Kristen oleh Nommensen Cs dari Jerman juga sedang berlangsung di Tapanuli. Tidak begitu lama dengan itu, kekuasaan kolonial Belanda pun mulai memasuki daerah Tapanuli. Maka untuk menghadapi segala kemungkinan, ia pun mulai mengadakan persiapan-persiapan dengan mengadakan musyawarah dengan raja-raja serta panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan Pakpak/Dairi.

Perang urat syaraf pun makin meningkat pada kedua belah pihak. Walaupun sudah dicoba, jalan damai sudah tidak dapat lagi ditempuh. Maka pada tanggal 19 Pebruari 1878 serangan mulai dilancarkan pasukan Si Singamangaraja XII yaitu rakyat Tapanuli sendiri terhadap pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung.

Pertempuran yang menewaskan banyak penduduk tersebut akhirnya memaksa pasukan Si Singamangaraja mundur. Tapi walaupun harus mundur dari Bahal Batu, semangat juang perlawanan pasukan itu masih tetap tinggi terutama di desa-desa yang belum tunduk pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar, Tangga Batu, dan Balige selaku basis pasukan Si Singamangaraja XII ketika penyerangan ke Bahal Batu.

Sebaliknya di pihak Belanda, dengan kemenangan di Bahal Batu tersebut, semakin berani mengejar terus pasukan Si Singamangaraja XII sampai ke desa-desa yang tidak tunduk pada kolonial. Dalam pengejaran tersebut, mereka selalu membakar desa dan menawan raja-raja desa. Akibatnya, pertempuran pun berkobar di mana-mana seperti di Sipintu-pintu, Tangga Batu, Balige, Bakkara dan sebagainya.

Bahkan dalam pertempuran kedua di Balige, Si Singamangaraja XII sempat terkena peluru di atas lengan, walau lukanya tidak sampai membahayakan nyawanya namun kuda putihnya si hapas pili mati ketika itu. Ia pun melakukan perang gerilia.

Dengan begitu, Si Singamangaraja XII pun terpaksa berpindah-pindah seperti dari Balige ke Bakkara kemudian ke Huta Paung di Dolok Sanggul, selanjutnya ke Lintong (kampung pamannya (tulang) Ompu Babiat Situmorang) dan kembali lagi ke Bakkara, begitulah terkadang berulang. Dan ketika kedua kalinya Si Singamangaraja XII menyingkir ke Lintong, Belanda pun menyerbu ke sana secara tiba-tiba pada tahun 1989.

Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi, yang kemudian selama 21 tahun tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan Belanda.

Pada kurun waktu itu, beliau tetap mengadakan perlawanan dengan cara melakukan kunjungan ke berbagai daerah seperti ke Aceh dan raja-raja kampung (huta) di Tapanuli dengan maksud agar hubungan di antara mereka tetap terjaga terutama memberi semangat kepada mereka agar tidak mau tunduk pada Belanda. Akibatnya perlawanan oleh raja-raja terhadap Belanda pun kerap terjadi. Pihak Belanda meyakini, bahwa perlawanan yang dilakukan oleh raja-raja kampung itu tidak lepas dari pengaruh Si Singamangaraja XII.

Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan penobatan Si Singamangaraja sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Si Singamangaraja menolak tawaran itu.

Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Dan setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya ketahuan oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menja Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.

Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, ia seorang pejuang yang tidak mau berkompromi dengan Belanda. Sehingga terjadilah pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh keluarganya melawan penjajah. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja Si Singamangaraja XII bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa panglimanya yang berasal dari Aceh gugur pada saat yang sama yaitu tanggal 17 Juni 1907 di Sionom Hudon. Kedua putranya itu yaitu putra sulungnya Patuan Nagari dan Patuan Anggi sedangkan putrinya bernama boru Lopian, srikandi sejati yang masih berumur 17 tahun.

Raja Si Singamangaraja XII tepatnya gugur di hutan daerah Simsim, Sindias di kaki gunung Sitapongan, kurang lebih 9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon, Tapanuli, Sumatera Utara. (Disebut Sionom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu yaitu Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun). Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Sopo Surung Balige.

Keluarga Si Singamangaraja XII yang turut gugur dalam pertempuran melawan kolonial Belanda tersebut bukan hanya dua putra dan putri yang sangat disayanginya tersebut, tapi tidak lama sebelumnya, abangnya yang bernama Ompu Parlopuk juga sudah gugur ketika melancarkan perang Gerilya tersebut. Demikian halnya dengan sang Permaisuri Raja Si Singamangaraja XII, boru Situmorang, juga telah lebih dulu meninggal tidak lama sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII akibat keletihan bergerilya di tengah hutan.

Bahkan, Pulo Batu, cucu yang sangat disayanginya, harus meninggal di usia muda sebelum kakeknya. Raja Si Singamangaraja XII alias Ompu Pulo Batu (Ompu Pulo Batu merupakan penamaan yang diambil dari nama cucu laki-laki paling sulung dari putranya paling sulung, dalam hal ini Pulo Batu merupakan anak sulung dari Patuan Nagari), akhirnya harus sama-sama wafat dengan cucu yang sebelumnya sangat diharapkannya menjadi penerus perjuangannya itu.

Perang Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII di Tapanuli, Sumatera Utara yang pecah sejak tahun 1878 itu, akhirnya berakhir sudah. Sejarah mencatat, ketika gugurnya sang pahlawan ini yang menjadi Gubernur Jenderal yaitu pemangku jabatan Kerajaan Belanda yang tertinggi daerah kolonial di Nusantara adalah Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz, sedangkan Gubernur Militer di Aceh yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal G.O.E.van Daalen.

Dan dibawah pasukan Kapten Christoffel alias ‘Si Macan Aceh’, seorang berkebangsaan Swiss yang sebelumnya hanya merupakan serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi warga negara Belanda, akhirnya sang pahlawan, Raja Si Singamangaraja XII gugur tertembak.

Kapten Christoffel yang melaporkan gugurnya Raja Si Singamangaraja XII di Tanah Batak kepada Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika itu membawa bukti jarahan berupa Piso Gaja Dompak dan Stempel Kerajaan. Stempel kerajaan dan Piso Gaja Dompak pun secara resmi disampaikan oleh Bataviaaschap Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7 Agustus 1907 kepada Museum di Gedung Gajah (Jalan Merdeka Barat sekarang-red). Piso Gaja Dompak waktu itu diberi tanda nomor 13425.

Mengenai pusaka yang satu ini, beberapa kalangan anggota keluarga Raja Si Singamangaraja XII mengklaim, bahwa Piso Gajah Dompak yang sebenarnya masih disimpan oleh anggota keluarga. Sementara yang lain mengatakan bahwa salah seorang dari pihak boru (pihak dari anak perempuan) yang menyimpannya. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Piso Gaja Dompak itu telah menghilang ke langit.

Piso Gaja Dompak itu sendiri adalah satu keris yang panjangnya sekitar 60-70 cm dengan pegangan yang menyerupai patung gajah. Menurut keluarga Si Singamangaraja dan berdasarkan hasil penelitian berbagai sarjana, pusaka ini sudah ada sejak Si Singamangaraja I yaitu sekitar pertengahan abad XVI Masehi. Bersama stempel kerajaan, pusaka tersebut merupakan lambang penting dari pemerintahan Raja Si Singamangaraja I sampai ke XII.

Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Si Singamangaraja XII sendiri. Tapi walaupun Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Si Singamangaraja XII sendiri.

Di hati rakyat sudah tumbuh semangat kemerdekaan dari segala bentuk penindasan seperti yang sudah ditanamkan sang pahlawan. Namun perlawanan rakyat itu tidak lagi sebesar perlawanan yang dipimpin Si Singamangaraja XII, sebab Belanda sudah semakin banyak menguasai kampung-kampung. Di samping itu, ketika itu pemimpin perlawanan rakyat itu pun belum ada yang bisa menyamai Si Singamangaraja XII yang bisa menghimpun semua raja-raja di Tapanuli bahkan dari Aceh.

Sejak itu sejarah baru pun tertulis. Daerah Aceh dan Sumatera Utara bagian pedalaman yang sampai tahun 1903 masih belum bisa dikuasai Belanda dan bahkan sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII pada tanggal 17 Juni 1907 itu, kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara masih minus Sumatera Utara bagian pedalaman, akhirnya berakhir. Sejak itu lengkaplah seluruh wilayah Nusantara menjadi daerah jajahan Belanda sebab Sumatera Utara bagian pedalaman inilah yang merupakan daerah terakhir di Nusantara yang dimasukkan ke dalam kekuasaan pemerintahan penjajahan Belanda.

Nama: Patuan Bosar Ompu Pulo Batu Sinambela
Gelar: Raja Si Singamangaraja XII
Lahir: Bakkara, Tapanuli, tahun 1849
Penobatan menjadi raja: Tahun 1867
Meninggal: Sionom Hudon, Tapanuli, 17 Juni 1907
Ayah: Raja Si Singamangaraja XI
Ibu: Ompu Boru Situmorang
Istri:
- Boru Simanjuntak
- Boru Nadeak
- Boru Sagala
- Boru Siregar
- Boru Situmorang
Anak:
- Patuan Nagari (Lk)
- Raja Pangkilim (Lk)
- Patuan Anggi (Lk)
- Raja Sabidan (Lk)
- Nagok (Lk)
- Sahudat (Lk)
- Raja Buntal (Lk)
- Raja Barita (Lk)
- Randang (Lk)
- Rinsan (Pr)
- Boru Lopian (Pr)
- Sunting Mariam (Pr)
- Tambok Br Sinambela (Pr)
- Saulina (Pr)
- Purnama Rea (Pr)
Catatan: Data ini belum lengkap dan urutannya tidak beraturan.
Cucu:
- Pulo Batu
- Patuan Sori
- Dan lain-lain
Cicit:
- Raja Tonggo Tua Sinambela
- Dan lain-lain
Sumber:
-Album Pahlawan Bangsa, Edisi: Revisi, Cetakan Ke-18. (Diterbitkan oleh PT. Mutiara Sumber Widya)
-Ahu Si Singamangaraja Oleh Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Pesona BORU Batak

08:00 | 0 komentar | Read More

Ana Christina Pinem atau yang lebih dikenal dengan Ana Pinem

Ana Christina Pinem atau yang lebih dikenal dengan Ana Pinem (lahir di Sumatera Utara, 25 Desember 1976; umur 33 tahun) adalah pemain sinetron Indonesia berdarah Batak Karo. Lulusan 1998 dari Institut Kesenian Jakarta, (IKJ) ini mengawali kariernya di sunia seni peran lewat sinetron Incen yang disutradarai oleh Arswendo Atmowiloto. Namun nama Ana Pinem mulai dikenal lewat perannya sebagai Bik Tum dalam sinetron Kisah Sedih Di Hari Minggu bersama Marshanda dan Meriam Bellina. Saat ini ia sudah mebintangi cukup banyak sinetron dan kebanyakan ia memerankan tokoh antagonis, tetapi akhir-akhir ini dia lebih sering memerankan tokoh protagonis yang konyol.




Anna Pinem dan Robertus Bobby Ratno Setyanto

Siapa yang menyangka, bila studio audio ‘Pospro’ menjadi saksi bisu awal pertemuan Anna Pinem dan Robertus Bobby Ratno Setyanto. Pertemuan ini terjadi sekitar tahun 2002 silam. Kala itu, Anna yang masih baru mulai meniti karirnya di dunia entertainmen dipertemukan dengan Bobby, yang bekerja sebagai operator audio, saat Anna menjadi pembicara di radio tempat Bobby bekerja, untuk sebuah acara sandiwara.

Seperti pepatah kuno Jawa ‘Witing tresno jalaran soko kulino’, cinta Anna dan Bobby tumbuh lantaran keduanya sering bertemu. “Aku suka Bobby karena orangnya diam dan gak neko-neko, alias gak banyak gaya,” ujar wanita kelahiran Sumatera Utara, 25 Desember 1976 ini.

Sementara Bobby mengakui menyukai Anna lantaran kepribadiannya yang mandiri. “Tipe cewek kayak Anna jarang banget aku temuin. Anna orangnya mandiri, pintar ngatur waktu dan yang paling penting pintar ngatur duit,” ujar Bobby, seraya tertawa.

Ditambahkan Bobby, bila ia seringkali menyembunyikan perasaannya bila Anna tidak berada di sampingnya kala itu. “Kalau ketemu di kantor, aku tuh yang sok-sok jaim. Tapi kalau Anna gak ada, aku nyari-nyariin dia. Pokoknya, malu-malu tapi mau deh,” tambahnya lagi.

Setelah mendekati Anna dengan berbagai trik selama setahun, Bobby pun mengungkapkan isi hatinya itu kepada Anna. Tanpa basa-basi, Anna yang memang sudah menyukai Bobby, langsung menerima pernyataan cinta laki-laki kelahiran Jakarta, 3 Oktober 1975 ini. Mereka resmi menjadi sepasang suami-istri tanggal 10 Juni 2003.

Dua tahun dirasakan cukup bagi Anna dan Bobby untuk saling mengetahui sifat, karakter serta kebiasaan masing-masing. Setelah merasa saling cocok, mereka pun memutuskan untuk menikah. “Pas waktu Bobby mau ngelamar aku, aku gak terlalu yang gimana banget, karena sebelumnya udah diomongin kalau Bobby mau datang ke rumah untuk ngelamar aku. Deg-degan sih ada, tapi gak terlalu,” papar wanita berdarah Batak ini.

Karena kedua belah pihak keluarga juga sudah setuju dan tidak ada kendala berarti, pemberkatan sakramen pernikahan mereka dilakukan di salah satu gereja di bilangan Kampung Sawah, Jakarta Timur, pada tanggal 16 Juni 2006 silam. Namun, hingga kini, keduanya mengaku belum sempat melakukan bulan madu dikarenakan padatnya jadwal kerja masing-masing.

Setelah menikah, keduanya tak terlalu kaget dengan sifat dan kebiasaannya pasangan masing-masing. Pasalnya, mengingat masa pendekatan dan penjajakan yang cukup lama, keduanya telah mengetahui cara untuk mengantisipasi jika ada konflik kecil yang berpotensi membesar.

“Kita masing-masing udah tahu karakternya. Jadi gak terlalu kaget pas baru nikah. Cuma ada kebiasaan Anna yang sejak pacaran sampai sekarang gak bisa ilang. Dia itu orangnya suka tidur di jalan kalau lagi di motor atau di mobil. Padahal aku tuh pengen ditemani ngobrol, eh dia malah tidur,” ujar laki-laki berdarah Jawa ini.

Soal momongan, perempuan lulusan Institut Kesenian Jakarta angkatan 1995 ini mengaku belum siap untuk memiliki anak saat ini. “Kakak aku kan baru ngelahirin, udah gitu keponakan-keponakan aku kadang aku yang jagain. Jadi masih ribet kalau nanti aku punya anak. Lagian masa barengan sih ngelahirinnya sama kakak aku,” kata anak ke 3 dari 6 bersaudara pasangan Pamat Pinem dan Berta Tarigan ini.

Seperti kebanyakan pasangan, keduanya pun berharap agar biduk rumah tangganya bisa tetap langgeng. “Kita sih berharap agar rumah tangga kita gak ada masalah yang bikin keluarga jadi hancur,” harap Anna. “Yang penting kita saling percaya, saling mendukung dan saling sayang,” tambah sang suami. Devi/ krosceknews.com

Pesona BORU Batak





06:28 | 3 komentar | Read More

Minggu Advent

Kata Advent artinya secara harfiah ialah: kedatangan. Kata itu berasal dari bahasa Latin, Adventus. Minggu Advent adalah permulaan Minggu dalam penanggalan tahun Gereja. Pada hakekatnya kita harus menyapa sesama pada Minggu itu: "Selamat tahun baru!". Minggu Advent dirayakan selama empat Minggu sebelum hari Natal.

Biasanya dimulai pada Minggu yang paling dekat. Sebagaimana diatur di dalam Almanak HKBP, kain penutup altar berwarna violet. Warna ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam Minggu Advent yang berlangsung selama empat minggu, jemaat diajar agar menyesali dosa-dosanya. Pembacaan Alkitab untuk Minggu Advent akan mencerminkan penekanan pada Kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya, termasuk tema-tema dari tanggung-jawab untuk setia pada Dia yang akan datang itu; penghakiman di dosa, dan harapan tentang hidup kekal.

Gereja mamahami bahwa hari Natal tidak dapat dipisahkan dari penyaliban Kristus di Golgatha. Firman yang telah menjadi daging dan tinggal di antara kita, untuk menyatakan kasih karunia Allah kepada manusia. Puncak dari pelayanan-Nya ialah: kematian dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Dalam rangka mencerminkan semua pengajaran tersebut, Gereja memulai Minggu Advent dengan pertobatan. Menurut DR. A A Sitompul dalam bukunya Bimbingan Tata Kebaktian Gereja mengatakan: "Teologia minggu Advent yang selalu ditekankan dalam khotbah adalah sebagai berikut: Advent pertama: Perjanjian yang ada dalam Perjanjian Lama digenapi oleh Yesus.

Di Minggu Advent itu, lilin dinyalakan. Sayang, banyak di antara anggota jemaat tidak memahami makna dari lilin tersebut. Gereja kita hanya menyalakan lilin di Minggu Advent. Tentunya hal ini punya makna. Di Gereja Barat, lilin ini berwarna warni. Sayang, Gereja kita hanya menyalakan lilin tanpa menentukan warna dari lilin tersebut. Saya takut, kita tidak mengerti makna dari lilin ini, sehingga kita asal saja menyalakannya. Soalnya hal itu sudah dari sananya begitu. Tradisi belaka, tanpa makna. Gereja Barat menyalakan lilin violet, pada Minggu Advent pertama. Dengan lilin yang menyala, kita diingatkan akan firman Tuhan Yesus yang mengatakan: "Akulah terang dunia". Menurut Pdt DR A A Sitompul, adapun nas khotbah yang dikhotbahkan di Minggu ini ialah: perjanjian yang ada dalam Perjanjian Lama digenapi di dalam Kristus Yesus. Pada waktu Dia datang untuk pertama kalinya, Ia membebaskan umat manusia.

Di Minggu Advent kedua, lilinnya tetap warna violet, warna ini berbicara tentang pertobatan, tetapi juga makna kerajaan. Pakaian kebesaran seorang Kaisar pada zaman dahulu adalah warna violet. Dalam Minggu Advent, Gereja Katolik masih memakai warna ini untuk pakaian kebesaran dari para uskup dan kardinalnya. Lilin Minggu Advent ini mengingatkan kita, bahwa Allah memanggil kita menjadi terang bagi bangsa-bangsa, sebagaimana disuarakan Nabi Yesaya: "Aku ini, TUHAN, telah memanggil engkau untuk maksud penyelamatan, telah memegang tanganmu; Aku telah membentuk engkau dan memberi engkau menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa, untuk membuka mata yang buta, untuk mengeluarkan orang hukuman dari tempat tahanan dan mengeluarkan orang-orang yang duduk dalam gelap dari rumah penjara" Yes 42:6-7. Pemberitaan firman dalam minggu ini masih menurut Sitompul: kesaksian dan pekerjaan Yohanes Pembabtis sebagai pendahuluan dari kedatangan Yesus. Sebagai respon, maka kita seharusnya bertobat dan menyesali dosa-dosa yang kita perbuat, serta berbuat sebagaimana diharapkan Tuhan.

Pada Advent ketiga, warna lilinnya telah berubah menjadi warna merah muda. Lilin ini menggambarkan adanya sukacita di dalam menyambut dia yang akan datang itu. Lilin ini juga mengingatkan kita akan kegembiraan dari pertobatan yang kita lakukan di dalam Minggu Advent. Pada Minggu ini diberitakan pengharapan akan kedatangan Yesus yang kedua kalinya, sebagai hari penghakiman. Gereja Barat mengganti warna tutup altar dari warna violet menjadi warna merah muda. Suatu perubahan dari penyesalan dosa ke arah perayaan, karena Tuhan telah mengampuni dosa-dosa kita. Di sisi lain, DR A A Sitompul menjelaskan bahwa keempat Minggu Advent itu adalah minggu pertobatan, olehkrn itu warna tutup altar tetap violet.

Pada Minggu Advent keempat lilinnya tetap yang merah muda. Suatu gambaran akan sukacita akan kedatangan Kristus yang dirayakan pada hari Natal. Sitompul mengatakan bahwa nas khotbah di Minggu ini ialah: hari penghakiman. Sementara menurut Almanak HKBP tahun 2008 nas khotbah berbicara tentang Imanuel. Pada Minggu itu kita mengingat kedatangan Tuhan di kota Betlehem dan menjadi Juru Selamat dunia. Setelah empat Minggu berturut-turut, maka kita merayakan hari Natal Yesus Kristus dan Tahun Baru.

Advent ditandai oleh suatu roh harapan, antisipasi, persiapan, kerinduan akan penggenapan janji-janji Allah. Pada Minggu itu kita merindukan kelepasan dari kejahatan-kejahatan dunia. Kita mengingat kelepasan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, tatkala mereka menjerit karena penindasan yang mereka alami. Kelepasan itu dikerjakan Allah di sepanjang zaman. Kita tahu bagaimana iman Kristen membebaskan dunia dari perbudakan atas umat manusia. Kita juga ingat bagaimana Allah melalui para missionaris-Nya membebaskan orang Batak dari kegelapan dan masuk ke dalam terang Tuhan yang ajaib. Bagian dari pengharapan itu juga mengantisipasi adanya satu penghakiman atas dosa dan semua umat manusia diperhadapkan kepada tanggung-jawab di depan Allah. Kita merindukan Allah datang dan menetapkan dunia benar!

Sayang seribu kali sayang, semua yang dibicarakan di atas tidak lagi dilakukan oleh Gereja kita sekarang ini. Jemaat sudah disibukkan dalam acara Natal di luar kebaktian resmi yang diadakan pada tanggal 24 – 26 Desember. Celakanya Gereja melayani keinginan anggota jemaat tersebut, sehingga hilanglah makna dari Minggu Advent. Sekalipun pada Minggu Advent lilin dinyalakan, para pengkhotbah pun tidak lagi menggubris makna dari lilin tersebut. Hal inilah yang membuat makna dari Minggu Advent jadi sirna dari iman warga HKBP menurut hemat saya secara pribadi.

Berbeda dengan HKBP, Gereja Katolik setia di dalam merayakan Minggu Advent. Mereka tidak membenarkan diadakannya perayaan natal sebelum tanggal 27 Desember. Makna Advent tetap mereka pelihara. Bahkan pada Minggu Advent puasa diadakan. Kembali ke HKBP. Mungkin sama seperti makna Advent sirna, makna Natal pun sudah mulai sirna. Natal sekarang sudah sangat berbeda dengan apa yang disuarakan Alkitab. Kita kehilangan makna, yang tinggal hanyalah sebuah pesta. Pesta tanpa makna!

St. Hotman Ch Siahaan
http://groups.yahoo.com/group/renunganharian/message/2216

Pesona BORU Batak

22:01 | 0 komentar | Read More

Seperti Yang Kau Ingini - Pesona BORU Batak

Bukan Dengan Barang fana
Kau Membayar Dosaku
Dengan Darah Yang Maha
Tiada Noda dan Celah

Bukan Dengan Emas Perak
Kau Menebus Diriku
Oleh Segenap Kasih
dan Pengorbananmu

Reff
ku Telah Mati dan Tinggalkan
Jalan Hidupku Yg Lama
Semuanya Sia-sisa
dan Tak Berarti Lagi

Hidup ini Kuletakkan
Pada Mesbahmu Ya Tuhan
Jadilah Padaku Seperti
Yang Kau Ingini

Bukan Dengan Emas Perak
Kau Menebus Diriku
Oleh Segenap Kasih
dan Pengorbananmu

Repeat Reff

Pesona BORU Batak

DONGAN NA ASING

17:10 | 0 komentar | Read More

Followers