Custom Search

Inilah "Warisan Terakhir" Opera Batak


Di atas panggung kayu dengan latar belakang panggung yang semakin kusam, Zulkaidah Harahap memainkan serunainya dengan lincah. Meski hatinya gundah, dia ingin penonton tetap terhibur dengan musik, nyanyian, dan tariannya. Dalam benaknya terpikir bahwa esok hari ia harus meninggalkan panggung yang telah lama membesarkannya.

Malam itu, sekitar pertengahan tahun 1984, adalah malam terakhir bagi Zulkaidah tampil bersama Seni Ragam Indonesia atau Serindo, grup Opera Batak yang sudah malang melintang sejak tahun 1925. Usianya masih 37 tahun kala itu.

Tumpukan utang yang harus dia tanggung membuat perempuan seniman ini tidak kuat lagi mempertahankan satu-satunya grup Opera Batak terbesar yang pernah ada di Sumatera Utara.

”Saya lari ke Jakarta karena dikejar-kejar utang. Saya tinggalkan semua; panggung, suami, lima anak, dan awak panggung. Serindo semakin lama semakin surut, sementara awak panggung tetap harus dihidupi,” katanya mengenang.

Pertengahan April, Zulkaidah bersama Alister Nainggolan tampil kembali di panggung Opera Batak di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bersama seniman muda lainnya yang tergabung dalam Pusat Latihan Opera Batak (PLOT), yang dipimpin seniman muda Thompson Hs, Zulkaidah memperkenalkan kembali Opera Batak kepada masyarakat.




Opera Batak adalah pertunjukan sandiwara panggung yang sudah dikenal masyarakat Batak Toba secara turun-temurun. Ketika orang Belanda masuk ke Pulau Samosir pada awal abad ke-19, mereka menjuluki sandiwara tradisional itu dengan nama opera (gaya) Batak, atau kemudian dikenal sebagai Opera Batak.

Kisah yang diangkat dalam Opera Batak umumnya tentang lakon legenda, mitos, cerita kepahlawanan, atau cerita keseharian masyarakat setempat.

Serindo adalah grup Opera Batak yang melegenda di Indonesia. Salah satu pendirinya adalah almarhum Tihang Gultom. Dia membesarkan kelompok sandiwara ini dari pentas di beberapa kampung saja. Oleh karena banyak diminati masyarakat, Serindo kemudian berpentas keliling, hampir ke seluruh wilayah Sumatera Utara.

Grup ini bagaikan induk bagi kelompok Opera Batak yang belakangan bermunculan di Sumatera Utara. Mereka yang mendirikan grup Opera Batak biasanya jebolan dari Serindo.

Bak bintang film

Sejak masih belia, Zulkaidah bercita-cita ingin bergabung dengan Opera Batak. Ia mengenal seni tradisi lisan itu ketika Serindo bermain keliling di seluruh wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara.

”Waktu itu saya tengok (lihat), mereka itu (pemain opera) seperti bintang film,” kata nenek yang usianya sudah menginjak 65 tahun itu.

Kecintaannya kepada Opera Batak bermula karena ia sering melihat pertunjukan tersebut. Jika tidak punya uang untuk membeli karcis, ia sampai nekat menerobos pagar yang mengelilingi panggung.

Ia kemudian bertekad mengikuti ke mana pun Serindo berpentas dengan melamar menjadi juru masak di Serindo. Pada malam hari dia menjaga anak-anak para pemain Serindo yang sedang pentas.

Suatu hari, kemampuannya bermain Serunai dan menyanyikan lagu-lagu khas Tapanuli menarik perhatian Tihang Gultom. Zulkaidah kemudian diminta pentas, bergabung dengan Serindo, bahkan kemudian menjadi salah satu primadona Serindo.

Namun, nasib baik tidak berpihak pada seni pertunjukan tradisi di Tanah Air, yang perkembangannya kemudian kalah oleh hiburan televisi dan bioskop. Pada awal tahun 1980-an ketika televisi masuk Pulau Samosir, Serindo goyah. Dalam kurun hanya beberapa tahun, Serindo yang menghidupi 50 anak panggung itu tidak mampu bertahan.

Pada masa sulit tersebut, banyak anak panggung Serindo yang berpindah ”kapal” mencari penghidupan lain yang lebih layak. Namun, Zulkaidah yang mendapat amanat dari Gustaf Gultom, pimpinan Serindo sebelumnya, memilih untuk bertahan.

Sawah, ladang, dan ternak miliknya dia korbankan agar Serindo bisa tetap berpentas meski tak banyak lagi penontonnya. Sampai akhirnya harta benda yang dia miliki hanyalah pakaian yang melekat di badan, di samping setumpuk utang.

Berjualan

Masa jaya Serindo dan Opera Batak tampaknya telah lewat. Ketika akhirnya memutuskan kembali ke Tapanuli Selatan setelah dibujuk saudaranya, Zulkaidah bertekad memperkenalkan kembali Opera Batak, terutama kepada generasi muda. Sambil berjualan kacang dan tuak keliling kampung, ia tidak lupa memainkan lagu-lagu yang pernah dibawakannya saat berpentas dulu.

Suatu hari tiupan serunai Zulkaidah sambil berjualan mengundang kekaguman Rizaldi Siagian, etnomusikolog dan musikus. Rizaldi lalu mengajak Zulkaidah berpentas ke Jepang pada tahun 1989, kemudian ke Amerika Serikat tahun 1991.

Lawatannya selama dua minggu di masing-masing negara itu pada kenyataannya tidak mampu mengubah nasib perempuan yang hanya bersekolah di Sekolah Rakyat ini meskipun Zulkaidah punya kemampuan luar biasa dalam bermusik.

Kembali dari luar negeri, dia berjualan lagi, bermain sebagai pemusik keliling, dan menjadi buruh tani. Namun, bagi Zulkaidah, uang tidak menjadi kendala untuk menghidupkan kembali Opera Batak.

”Saya masih punya ilmu untuk diturunkan,” ujarnya.

Kini, dalam usianya yang renta, Zulkaidah rela bolak-balik dari rumahnya di Tiga Dolok, Tapanuli Selatan, ke Pematang Siantar, yang membutuhkan waktu perjalanan sekitar satu jam. Semua itu demi mengajar mahasiswa yang ingin belajar Opera Batak. Dia juga kerap diundang ke Jakarta untuk ikut bermain Opera Batak bersama rekan-rekannya di PLOT.

Zulkaidah mungkin belum bisa menyaksikan Opera Batak kembali menguasai panggung pertunjukan seperti pada masa keemasannya dulu. Namun, dia kini bisa sedikit bernapas lega karena sudah memiliki ”panggung” lain, yaitu mengajarkan ilmunya bermain serunai, menyanyi, dan manotor (menari) kepada generasi muda meski tanpa dibayar atau kadang-kadang bayarannya tidak cukup untuk menghidupinya.

MEDIA INDONESIA

Followers